Gegara Transmisi, Begini Nasib Toyota Calya Listrik Buatan Mahasiswa ITB
100kpj – Institut Teknologi Bandung (ITB) bekerjasama dengan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) sedang melakukan studi mengubah mobil bermesin bahan bakar menjadi listrik murni berbasis baterai.
Kendaraan buatan lokal yang dipilih perguruan tinggi untuk dikonversi adalah Toyota Calya. Mobil yang menyasar segmen LCGC (Low Cost Green Car) tersebut dinilai sesuai dengan kemampuan rata-rata orang RI.
Proyek yang dimulai sejak 2020 itu terungkap ke publik pada 2021. Artinya butuh waktu cukup lama untuk mengubah Toyota Calya dari mesin bensin 4 silinder berkapasitas 1.200cc menjadi penggerak listrik seutuhnya.
Head of Electrical Energy Conversion Research Laboratory ITB, Agus Purwadi mengatakan, mobil tersebut sudah bisa digunakan jalan, mengandalkan baterai dan dinamo untuk menggerakkan kedua rodanya.
Namun masih ada kendala, terutama soal sistem kelistrikan yang menjadi standarisasi industri secara global. Sehingga perlu dilakukan perubahan, dan studi lebih lanjut agar mobil LCGC itu bisa lolos layiknya buatan pabrikan.
“Kalau sekadar jalan, dan berfungsi mungkin tidak ada masalah. Yang jadi masalah kalau kita lihat standar internasional, atapun nanti homologasinya. Kita harus memenuhi safety aspek yang sangat ketat,” ujar Agus secara virtual saat seminar bersama TMMIN di ITB Bandung, Jumat 2 Desember 2022.
Toyota Calya yang dikonversi menjadi kendaraan listrik tersebut mengandalkan transmisi matik bawaan mobil, sehingga butuh penyesuaian dari ECU (Electric Control Unit). Berbeda dengan yang dilakukan perguruan tinggi lainnya.
“Kalau kami berbeda sendiri dengan yang dilakukan UI (Universitas Indonesia), dan ITS (Institur Teknologi Sepuluh Nopember). Kami memiliki transmisi matik, ternyata mapping dari ECU harus di sesuaikan,” tuturnya.
Dengan begitu, perlu menyesuaikan otak dari mobil itu agar terintegrasi dengan baik menggunakan giboks matik Calya. Umumnya kendaraan listrik buatan pabrikan mengandalkan satu percepatan matik sebagai penerus tenaga.
Sedangkan karya mahasiswa universitas lain mengandalkan transmisi manual, yang menurut Agus lebih mudah jika Calya pelahap seterum tersebut mengaplikasikan girboks dengan sistem kopling saat perpindahan giginya.
“Mau tidak mau kita harus sejalan antara karakter motor dengan karakter transmisi matiknya. Jadi menurut kami ini tangan tang berat juga. Tapi kalau transmisi manual itu mudah, dan bisa dilakukan, jadi paling tidak untuk low dan high speed saja,” katanya.
Selain itu, standarisasi yang perlu dikembangkan adalah menyesuaikan colokan, atau tipe pengisian daya baterainya dengan SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) yang tersedia saat ini.
Sebelumnya Calya listrik karya ITB tersebut menggunakan standar tegangan kelas B dengan daya 60 volt sammpai 1.500 volt, tipe pengisiannya satu arah alias DC.
“Memang harus punya safety aspek yang cukup tinggi, dan terkait itu komunikasi ataupun protokol sehingga comply dengan SPKLU juga oke. Kami berharap ini tetap berlanjut di berikutnya, sehingga kami bisa resolve itu," sambungnya.