Namun yang membedakan, pegiat otomotif Tanah Air baik dari pengguna individu, perusahaan aftermarket, dan komunitas selalu patuh, atau menerima aturan-aturan baru yang diberlakukan pemerintah.
Salah satu contohnya penertiban knalpot aftermarket yang sempat menjadi pro dan kontra, karena tidak ada angka khusus batasan suara, atau kebisingan dari knalpot tersebut. Adanya kebijakan tersebut, secara tidak langsung mematikan industri aksesori, terutama pengerajin knalpot lokal.
Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Polisi Aan Suhanan mengatakanknalpot brong diamankan karena suaranya menggangu masyarakat, dan identik motor yang sudah dimodifikasi pada saluran pembuangannya tersebut digunakan untuk kebut-kebutan di jalan raya.
Larangan menggunakan knalpot brong juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 285 Ayat 1, dan Pasal 106 juncto Pasal 48, terkait standar layik jalan dengan denda Rp250 ribu.
Namun tidak ada ketentuan batas suara yang diukur berdasarkan desibel meter, karena aturan tersebut hanya tertera pada Peraturan Menteri Negara Lingkunan Hidup Nomor 7 tahun 2009, yang seharusnya untuk tes jalan sebelum dijual pabrikan.
Sedangkan knalpot brong yang disita bukan buatan pabrikan, melainkan aftermarket atau bagian dari aksesori kendaraan. Adapun ketentuan suara knalpot dalam Permen LHK tersebut untuk mesin 80-175cc maksimal 80 Db.
Kemudian pada motor dengan mesin di atas 175cc maksimal kebisingannya 83 db, artinya belum ada kebijakan yang jelas untuk memastikan besaran suara knalpot yang dianggap melanggar.