Menurutnya rasa empati itu tidak berbanding lurus dengan kamapanan, inteletual, pola pikir, hingga rasa sosial orang tersebut saat di jalan raya. Jadi pemahan empati sangat penting dasarnya dari subjek berbagi.
“Ini menjadi masalah yang umum, boleh dikatakan hampir setiap hari ada kejadian yang hampir semacam ini (adu mulut, pukul-pukulan, hingga nekat menabrak dengan senagaja),” ujar Jusri kepada 100KPJ beberapa waktu lalu.
Menurutnya, semakin tinggi jabatan seseorang, atau kekuasaan yang dimiliki pengguna jalan, hingga ukuran postur badan menjadi salah satu faktor mereka berani membuat kegaduhan dengan pengendara lain yang dianggap salah.
“Masyarakat sipil kebanyakan jadi hakim sendiri, tidak ada empati. Jadi pemahan terhadap penggunaan fasilitas publik kita lemah. Padahal, satu sisi bangsa kita dikenal dengan ramah tamah tapi ketika berada di jalan mereka itu buas, dan sering bertindak ekstrim,” tuturnya.
Jusri mengatakan, lebih baik pengguna kendaraan pentingkan keselamatan dengan mengalah. Karena keselamatan di jalan itu bukan sekadar mematuhi peraturan lalu lintas, namun bersinggungan dengan kemananan dari sisi kriminal.
“Kalau kita mengunakan fasilitas publik yang harus dilakukan adalah sabar, karena bukan kita saja yang menggunakannya. Kesabaran itu dengan menempatkan keselamatan prioritas utama. Jadi lebih baik mengalah," tutur Jusri