100kpj – Demi menuju era ramah lingkungan, pemerintah melakukan berbagai cara dalam memberikan isentif untuk kendaraan listrik. Namun hingga saat ini populasi mobil tanpa emisi di Indonesia masih terbilang sangat jarang.
Mengingat sejumlah mobil pelahap seterum yang beredar di Tanah Air harganya masih mahal. Sehingga hanya masyarakat kelas atas yang mampu membelinya. Terlebih untuk kendaraan yang sepenuhnya digerakkan listrik.
Contohnya Tesla, mobil tanpa emisi yang dijual oleh importir umum Prestige Image Motorcars tersebut dibanderol mulai dari Rp1 miliaran sampai Rp2 miliar tergantung tipe, yang tersedia di Tesla Model X, Model S, atau Model 3.
Kemudian Lexus Indonesia baru saja meluncurkan crossover terbaru yang penggerak utamanya adalah listrik, yakni Lexus UX 300e. Meski ramah lingkungan, namun tidak ramah di kantong karena harganya mencapai Rp1,24 miliar.
Crossover listrik yang dapat menampung 5 penumpang itu mampu berjalan hingga 300 kilometer, dalam keadaan baterai penuh. Kemudian, mobil perkotaan BMW i3 yang dijual oleh BMW Group Indonesia harganya masih Rp1,3 miliar.
Sementara mobil full listrik paling murah hanya ada Hyundai Ioniq dan Kona yang djual Rp600 jutaan. Artinya cukup sulit jika pemerintah memiliki target kendaraan listrik wajib menyumbang 20 persen jadi penjualan nasional.
Lantas seperti apa kunci utama agar mobil listrik laris manis, dan populasinya membludak?
Kepala BT2MP (Balai Teknologi Termodinamika Motor dan Propulsi) BPPT, Hari Setia Praja mengatakan, saat ini mobil listrik memang terlalu segmented. Sebab selain harga jualnya yang tergolong tinggi, ada beberapa hambatan lain.
Salah satunya pemilik wajib memiliki daya listrik yang mumpuni. “Charging mau di rumah saja minimal harus 2.200 watt (mobil listrik),” ujarnya melalui acara diskusi virtual yang digelar Forum Wartawan Otomotif (Forwot), Kamis 26 November 2020.
Dalam kesempatan yang sama, Senior Researcher LPEM-FEB Universitas Indonesia Riyanto mengatakan, posisi mobil listrik yang dijual di Indonesia masih segmen atas, meskipun pemerintah telah memberikan isentif, harganya tetap tinggi.
“BEV (Baterai Electric Vehicle) untuk PPnBM sudah nol persen, dan untuk warga DKI Pemprov sudah membebaskan BBNKB untuk mobil full listrik nol persen,” ujar Riyanto.
Maka dia berpendapat bahwa jika harga mobil listrik bisa di angka Rp300-350 juta diduga masyarakat akan lebih melirik. Atau beralih dari kendaraan bermesin pembakaran menjadi full listrik, meskipun secara infrastuktur belum memadai.
“Bayangan saya dulu pernah simulasi bikin lokal prroduksi yang kelasnya sejuta umat. Mobil Low MPV kaya Avanza dijadikan listrik. Hyundai Ioniq Rp600 jutaan sebenarnya terlalu mewah untuk orang Indonesia,” katanya.
“Tugas kita sebenarnya lokal prouduksi. Bikin yang kelasnya seperi Avanza 300 jutaan atau mungkin 350 juta tapi penggerak listrik. Atau mungkin segmen bawah kaya LCGC dibuat jadi mobil listrik berukuran kecil (harga terjangkau),” sambungnya.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), melalui Seketaris Jendaralnya, Kukuh Kumara sempat menyebut bahwa mayoritas pasar paling gemuk untuk kendaraan penumpang memiliki harga di bawah Rp300 juta.