100kpj – Pengendara Daihatsu Ayla menabrak pengguna Honda CBR1000RR SP di salah satu jalan Purwokerto Utara, Jawa Tengah menjadi viral di media sosial. Yang menjadi sorotan warganet adalah kedua harga kendaraan tersebut.
“Kronologinya pengendara Ayla enggak terima katanya saya geber, terus saya minggir, saya ikutin kemauannya. Kita sempat cekcok mulut dulu, karena dia merasa tidak terima,” ujar Dimas Prasetyahani melalui IGTV di Instagram pribadinya.
Baca juga: Bikin Ngilu, Segini Kecepatan Mobil Ayla Saat Menabrak Honda CBR1000RR
Namun saat ditantang satu lawan satu oleh pengguna moge itu, pemilik mobil enggan melayaninya dan kembali ke jalan raya. Kemudian dia mengejar pengendara Ayla tersebut karena merasa telah dimalukan di depan banyak orang.
Saat Honda CBR1000RR SP itu menyalip mobil tersebut, dan berhenti di sisi kiri jalan, pengendara Ayla itu nekat menabraknya hingga terseret. Diketahui, atas kejadian tersebut pengguna moge itu mengalami patah tulang, dan luka-luka.
Padahal secara logika, jika Dimas tidak mengejar mobil tersebut karena sudah mengabaikan ajakannya satu lawan satu, bisa saja kecelakaan itu tidak terjadi. Namun emosi pengguna mobil tersulut kembali setelah dikejar dirinya.
Lantas apa yang menyebkan pengguna kendaran emosi saat di jalan raya, hingga nekat menabrak orang dengan sengaja?
Pendiri Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC), Jusri Pulubuhu mengaakan, peseteruan di jalan raya sudah menjadi budaya di Indonesia. Hal itu diakibatkan dari lemahnya pemahaman mereka ketika berkendara, dan rasa empati.
Menurutnya rasa empati itu tidak berbanding lurus dengan kamapanan, inteletual, pola pikir, hingga rasa sosial orang tersebut saat di jalan raya. Jadi pemahan empati sangat penting dasarnya dari subjek berbagi.
“Ini menjadi masalah yang umum, boleh dikatakan hampir setiap hari ada kejadian yang hampir semacam ini (adu mulut, pukul-pukulan, hingga nekat menabrak dengan senagaja),” ujar Jusri kepada 100KPJ beberapa waktu lalu.
Menurutnya, semakin tinggi jabatan seseorang, atau kekuasaan yang dimilikinya, hingga ukuran postur badan menjadi salah satu faktor mereka berani membuat kegaduhan di jalan raya.
“Masyarakat sipil kebanyakan jadi hakim sendiri, tidak ada empati. Jadi pemahan terhadap penggunaan fasilitas publik kita lemah. Padahal, satu sisi bangsa kita dikenal dengan ramah tamah tapi ketika berada di jalan mereka itu buas, dan sering bertindak ekstrim,” tuturnya.
Maka lebih baik pentingkan keselamatan dengan mengalah. Lanjut Jusri, keselamatan di jalan itu bukan sekadar mematuhi peraturan lalu lintas, namun bersinggungan dengan kemananan dari sisi kriminal.
“Kalau kita mengunakan fasilitas publik yang harus dilakukan adalah sabar, karena bukan kita saja yang menggunakannya. Kesabaran itu dengan menempatkan keselamatan prioritas utama. Jadi lebih baik mengalah," tutur Jusri