100kpj – Kecelakaan beruntun terjadi di Tol Cipularang KM 91 melibatkan 21 kendaraan dan mengakibatkan delapan orang tewas, empat diantaranya terbakar. Kejadian di jalan bebas hambatan tersebut bukan pertama kalinya.
Pakar keselamatan yang juga pendiri Jakarta Defensive Driving Consulting, Jusri Pulubuhu mengatakan, menyikapi kejadian tersebut agar kecelakaan tidak terulang lagi, yang pertama disiplin dan kepatuhan pengguna jalan ketika berada di jalan tol.
“Jalan biasa sangat besar potensi kecelakaannya karena populasi kendaraan dan objeknya lebih banyak ketimbang tol. Tapi mereka tidak rentan dengan kecelakaan fatal, karena segaris dengan kecepatannya,” ujarnya kepada 100kpj.com, Selasa 3 September 2019.
Jusri mengatakan, peluang kecelakaan tertinggi di jalan umum, tapi kualitas benturannya lebih rendah. Jalan tol peluang kecelakaan lebih sedikit, tetapi peluang kecelakaan fatal lebih tinggi. Maka wajib patuh terhadap aturan-aturan yang ada.
Belajar dari tabrakan beruntun di Tol Cipularang yang disebabkan dari terbaliknya truk pengangkut pasir, bagi pengguna kendaraan harus lebih berhati-hati. Terutama menjaga batas kecepatan, atau jarak aman dengan kendaraan di depan.
“Dalam menjaga jarak aman tidak pernah menggunakan meter statis. Karena jarak aman diperhitungkan berdasarkan waktu reaksi manusia, waktu reaksi mekanikal, bobot serta dimensi kendaraan,” tuturnya.
Lebih lanjut Jusri menjelaskan, jarak berkendara itu perhitungan satuannya detik. Aturan lalu lintas di negara-negara maju, kendaraan kecil dalam kondisi ideal jaraknya dua sampai empat detik. Sedangkan truk atau bus empat sampai enam detik.
“Kenapa bisa lebih panjang waktunya untuk truk. Karena semakin besar kendaraan otomatis momentum (waktu pengereman) akan semakin panjang, truk berbeda dengan mobil pribadi (bisa langsunng rem dan berhenti),” tuturnya.
“Kelemahananya di Indonesia jarak aman jarang dilakukan pengguna jalan, managemen kecepatan juga tidak sesuai. Kecepatannya tidak ada yang sama antara kendaraan satu dan lainnya,” sambungnya.