Kekhawatiran mengenai ketersediaan material, sumber daya yang etis, dan biaya telah mendorong banyak produsen mobil beralih ke LFP bebas kobalt dan nikel. Hasilnya, baterai LFP meningkat dari 6 persen pada 2020 menjadi 27 persen di 2022 menurut laporan Badan Energi Internasional.
Peralihan ke baterai LFP mungkin memberikan keringanan pada rantai pasok kobalt, namun hal ini juga menghadirkan tantangan bagi pendaur ulang baterai, yang menargetkan material penting bernilai tinggi untuk diekstraksi.
Akibatnya, baterai LFP saat ini cenderung tidak dapat didaur ulang, meskipun permintaan elektroda grafit meningkat. Oleh sebab itu, NREL (National Renewable Energy Laboratory) di Amerika, bersama ACE (African Clean Energy) Green sedang menjalin kerjasama untuk metode daur ulang LFP.
“Mendaur ulang grafit dapat membantu memenuhi permintaan elektroda grafit di Amerika Serikat, sekaligus memperdalam kepemimpinan teknologi, dan teknik kita,” ujar salah satu Founder dan Chief Technology Officer ACE Green.
Hal serupa juga terjadi di Eropa, menurut laporan salah satu media asing ternama, tidak ada proses daur ulang khusus baterai LFP dalam skala industri di benua biru. Sehingga mendorong sejumlah perusahaan untuk menampung baterai LFP yang sudah habis masa pakainya.
Perusahaan daur ulang baterai Jerman Accurec Recycling GmbH bersama Acrobat Vito Belgia, dan Institut SIM2 KI Leuven, Fraunhofer ILT Jerman, dan ENEA Italia akan mengembangkan proses, dan Teknik daur ulang LFP yang ramah lingkungan.
Sebelumnya, pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan itu muncul setelah mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong membanggakan LFP ketimbang nikel yang dimiliki Indonesia.