100KPJ

Gak Dapat Insentif, Harga Mobil Hybrid Masih Terlalu Mahal Gegara Pajak yang Tinggi

Share :

100kpj – Menarik minat konsumen terhadap kendaraan ramah lingkungan, berbagai cara dilakukan oleh pemerintah. Tujuannya untuk menekan emisi dari mesin pembakaran, agar bisa mencapai netralitas karbon 2060.

Salah satunya memberikan insentif mobil listrik berbasis baterai, berupa potongan PPN (Pajak Pertambahan Nilai), untuk produk yang sudah dibuat lokal dengan TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri) 40 persen. 

Sebelumnya PPN untuk kendaraan roda empat pelahap seterum mencapai 11 persen, kini konsumen hanya dibebankan satu persen. Sehingga harga jualnya dalam kondisi on the road menjadi lebih terjangkau.

Insentif yang berlaku sejak April 2023 itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 tahun 2023. Di dalamnya tidak ada aturan yang meringankan pembelian mobil hybrid, seperti wacana sebelumnya.

Padahal di Indonesia mobil hybrid yang menggabungkan mesin pembakaran dengan motor listrik untuk menggerakkan roda, tergolong lebih banyak dibandingkan listrik murni berbasis baterai. 

Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, mobil hybrid memang belum ditetapkan untuk mendapatkan insentif. Namun harganya bisa lebih terjangkau jika emisi gas buangnya rendah.

“Tapi kita sudah sebetulnya memberikan insentif terhadap level dari emisi itu sendiri. Jadi yang saya sampaikan pada sambutan tadi, ini yang akan dikembangkan,” ujar Menperin di Karawang, Jawa Barat, dikutip Rabu 14 Juni 2023.

Harganya bisa terjangkau jika kadar emisinya bisa sangat rendah. Saat ini mobil yang beredar di Indonesia pajaknya tidak lagi berfokus pada volume silinder mesin atau cc, melainkan emisi karbon yang dihasilkan.

“Jadi tidak lagi insentif berkaitan dengan cc (cubicle centimetre), tapi insentif berkaitan dengan level dari emisi itu sendiri. Ini bukan carbon tax,” tuturnya.

Menurutnya, pemerintah bisa memberikan insentif, dan peraturan harga kalau memang produk-produk yang dibuat oleh setiap brand kendaraan sesuai dengan level emisi yang sudah ditetapkan kementerian.

Namun menurut Direktur Hubungan Eksternal PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Bob Azam, kebijakan tersebut belum sepenuhnya efektif untuk kendarana hybrid, berbeda dengan negara tetangga.

“Kita selalu bandingkan sama Thailand, coba lihat insentif yang diberikan. Kita harus belajar dari situ, kalau mau kompetisi dengan mereka, berapa insentif yang diberikan,” tutur Bob Azam.

Dia mengatakan, pangsa pasar Indonesia sebenarnya bisa lebih besar lagi untuk kendaraan elektrifikasi termasuk hybrid jika pajaknya tidak sebesar yang berlaku saat ini, dihitung dari emisi gas karbonnya. 

“Kalau tax-nya tidak sebesar ini, katakanlah sama seperti Thailand, mungkin market kita enggak jauh lari. Enggak usah khawatir, pendapatan pemerintah akan turun, karena volume naik, pendapatan pemerintah juga terjaga,” katanya. 

Sebelumnya mobil hybrid dijual dengan harga selangit, karena pajaknya mahal karena dihitung memiliki dua sumber penggerak. Kini aturannya berdasarkan kadar emisi.

Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2021, padal 36A kendaraan PHEV (Plug-in Hybrid Electric Vehicle) yang memiliki konsumsi bahan bakar 28 km per liter dikenakan tarif PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) 15 persen dengan dasar pengenaan pajak 31,3 persen dari harga jual.

Sedangkan PPnBM untuk mobil hybrid juga 15 persen, namun dengan dasar pengenaan pajak 40 persen dari harga jual jika memiliki konsumsi BBM lebih dari 23 km per liter, denan emisi karbon 100 gram per km.

Namun jika konsumsi BBM 18,4 km per liter sampai 23 km per liter dengan emisi gas buang 100 gram per km, sampai 125 gram per km maka dasar pengenaan pajak dari harga jualnya sebesar 46,3 persen.

Share :
Berita Terkait