100kpj – Baru-baru ini, chief executive officer (CEO) Tesla, Elon Musk sempat memberikan pujian terhadap Indonesia terkait ketersediaan nikel yang melimpah. Sebab, senyawa tersebut merupakan bahan baku utama yang dibutuhkan untuk membuat baterai kendaraan listrik.
Berdasarkan data Geological Survey AS yang diolah investingnews.com, hingga 2019 lalu, Indonesia masih merupakan produsen nikel terbesar di dunia dengan ketersediaan 345 ribu metric ton. Sedangkan cadangannya dikatakan mencapai 21 juta metric ton.
Baca juga: Elon Musk: Tesla Bakal Punya Mobil Murah di Masa Depan
Namun, secara mengejutkan, Tesla akhirnya justru membeli nikel dari BHP Australia melalui penandatanganan perjanjian pada 22 Juli 2021 lalu. Lantas, mengapa mereka akhirnya memilih Australia dan bukan Indonesia?
Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar membuat analisis pribadi mengenai alasan utama Tesla lebih memilih Australia ketimbang Indonesia.
“Tidak ada yang tahu pasti kenapa kerja sama yang sangat strategis ini dimulai. Namun demikian, ada beberapa hal yang bisa menjadi petunjuk kenapa Tesla memilih BHP,” ujar Tahar, melalui akun medsos resminya, dikutip dari VIVA, Jumat 30 Juli 2021.
Pertama, menurutnya, Tesla mendapat tekanan dari sejumlah pihak untuk berpartisipasi aktif dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Itulah mengapa, mereka akhirnya memilih BHP yang kerap dilabeli sebagai perusahaan tambang dengan kepedulian tinggi terhadap lingkungan.
“Mereka punya komitmen untuk mengelola tambang yang ramah lingkungan dengan menggunakan energi terbarukan,” jelasnya.
Kedua, lanjutnya, kesamaan visi antara Tesla dan BHP dalam mengatasi masalah kerusakan lingkungan akibat kegiatan bisnis yang tidak berorientasi pada lingkungan. Tesla dan BHP berkomitmen memiliki usaha berkelanjutan (sustainable) dan handal, sehingga kegiatan bisnis mereka bisa bertahan lama.
“Pandangan jauh kedepan dari kedua perusahaan ini akan saling menguatkan posisi mereka di mata investor,” tegasnya.
Ketiga, kerja sama tersebut diyakini mampu meningkatan nilai saham kedua perusahaan. Bisa dibayangkan, bagaimana reaksi investor seandainya Tesla memilih kerja sama dengan penambang nikel yang tidak ramah lingkungan.
“Tesla bisa jadi mendapatkan harga nikel yang lebih murah, tapi kalau nilai sahamnya turun maka kerugian besar bagi Tesla. Kata orang Minang, Tesla kalah membeli, tapi menang memakai,” tuturnya.
Sebaliknya, hal yang sama juga berlaku untuk BHP. Apa yang terjadi kalau BHP menjual nikel kepada perusahaan yang tidak peduli dengan lingkungan. Nilai saham BHP bisa turun. Inilah fenomena ke depan yang harus dihadapi perusahaan dunia yang sudah go public.
“Mereka harus peduli dengan lingkungan kalau tidak ingin ditinggal investor,” terangnya.
Keempat, kata dia, adanya usaha yang sungguh-sungguh dari Pemerintah Australia membantu perusahaan tambang mereka untuk berpartisipasi dalam mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim. Mereka menyadari, dalam jangka pendek, akan ada biaya lebih yang harus dikeluarkan penambang ramah lingkungan.
“Tapi pemerintah hadir lewat insentif fiskal yang bisa meringankan beban perusahaan tersebut. Inilah kunci membangun dunia usaha yang berkelanjutan dan handal. Tidak dipaksa melalui jalan sulit dengan peta jalan yang buram,” urainya.
Meski begitu, Arcandra mengingatkan, analisis tersebut hanya sekadar dugaan, alias belum tentu sepenuhnya benar. Namun, satu yang pasti, Tesla—yang dicitrakan sebagai perusahaan ramah lingkungan—hanya melihat peluang bisnis di sektor yang sejalan dengan visi mereka.
“Paling tidak, bukan sebagai faktor penentu investor berinvestasi di sana. Investor lebih punya ketertarikan terhadap perusahaan dan peluang bisnis yang ramah lingkungan.”
“Perusahaan kelas dunia sangat cerdas dalam mengumpulkan data-data akurat terhadap komitmen sebuah perusahaan, termasuk praktek-praktek bisnis yang biasa mereka lakukan di suatu negara. Inilah zaman baru yang terbuka dan transparan,” kata dia.